Banner JatengPagi.com
Banner JatengPagi.com
banner 728x250
Blog  

TEGUH DWI LAKSONO: FENOMENA POLITIK VOTE BUYING DALAM PEMILU 2024 DAN IMPLIKASINYA BAGI DEMOKRASI

banner 120x600
banner 468x60

Pertama saya memperkanalkan diri, saya Teguh Dwi Laksono merupakan alumni Fakultas Hukum Universitas Semarang, yang lebih tepatnya mengambil penjurusan di Hukum Tata Negara. Melihat fenomena politik vote buying dalam pemilu 2024 ini membuat saya terbesit untuk memberikan sedikit opini, sebagai wujud pengabdian bagi bangsa dan negara.

Indonesia harus dikontruksikan sebagai negara hukum yang memiliki kepedulian (a state with conscience and compassion). Ia bukan negara yang hanya berhenti pada tugasnya menyelenggarakan fungsi public, bukan negara “by job description”, melainkan negara yang ingin mewujudkan moral yang terkandung di dalamya. Indonesia lebih merupakan negara “by moral design”. Maka menjalankan negara hukum di Indonesia adalah menjalankan aktivitas kenegaraan yang memiliki Nurani, sehingga setiap actor di jabatan negara diwajibkan untuk mencari tahu kepedulian apa yang ada pada negara (the conscience of the state) yang melekat pada tugas dan pekerjaan yang dijalankanya. Kepedulian merupakan esensi pekerjaan yang menjiwai pelaksanaan pekerjaan itu, yaitu semangat (compassion), empati, dedikasi, komitmen, kejujuran dan keberanian. Hasil-hasil pekerjaanya tidak hanya diukur dari segi kuantitas, melainkan juga kualitas, karena didasari oleh “moral description”. Dengan pedoman dan semangat itulah negara hukum Indonesia akan benar-benar menjadi Indonesia. Negara hukum Indonesia harus memiliki moral untuk secara aktif  “turun lapangan” (affirmative action) mewujudkan kebahagiaan bagi rakyat Indonesia.

banner 300x250

Demokrasi sebagai suatu system telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktivitas bermasyarkat dan bernegara di banyak negara, ada dua alsan kenapa demokrasi dipilih sebagai system bermasyarakat dan bernegara. Pertama hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas fundamental. Kedua demokrasi sebagai ass kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagi organisasi tertingginya. Salah satu dari wujud demokrasi adalah dengan adanya Pemilihan Umum yang pelaksanaan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, Pasal 22E ayat (1). Seiring perkembangan waktu pemilu yang secara langsung ini berdampak sekali bagi kehidupan masyarakat yang demokratis. Maka ada istilah vote buying dalam kontestasi politik.

Secara harfiah Vote Buying adalah pertukaran ekonomi sederhana yang melibatkan adanya kandidat yang membeli dan warga yang menjual suara. Tindakan jual beli suara ini seperti lelang, dimana pemilik suara akan menjual kepada pemebeli dengan harga tertinggi (highest bidder). Vote buying mencakup fenomena aktivitas empirik yang beragam. Partai politik atau kandidat menawarkan seserangkaian bujukan material yang memusungkan konstituen sebagai imbalan atas suara mereka. Pembelian suara dapat dilakuakn oleh kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan jangka Panjang atas kerja-kerja partai politik atau politisi terpilih.

Factor potensial yang menjadi penyebab terjadinya vote buying, yakni terkait konsep political atitudes atau sikap olitik, yang mencakup komponen seperti identifikasi partai politik, political efficacy, kepentingan politik, informasi politik, kepercayaan politik, partisipasi politik dan dukungan terhadap demokrasi. Menurut saya, pada intinya asumsi yang dibangun adalah bahwa kadar atau kondisi masing-masing komponen sikap politik tersebbut menjadi factor potensial yang memicu praktek vote buying.

Dampak vote buying ini sangat berimplikasi pada demokrasi kita, karena salah satu wujud demokrasi adalah tentang adanya pemilu yang berintegritas. Pemilu berintegritas ini sangat penting karena konsekuensinya pada berbagai aspek seperti legitimasi pemerintahan atau politisi terpilih. Serta vote buying ini berdampak negative bagi meujudkan masyarakat yang demokratis. Praktik vote buying menjadi sumber distorsi pemilu yang berintegritas dan kualitas demokrasi, karena ata tiga alasan : pertama, vote buying memberikan keuntungan bagi kandidat yang kaya, sehingga melanggar prinsip kesetaraan. Keuda, ketidaksetaraan tersebut juga berimplikasi pada proses pemilu yang tidak kompetitif dan minim kontestasi gagasan, ketiga vote buying melanggar prinsip kebebasan karena adanyaintervensi atas penggunaan haknya sebagai warga negara untuk secara bebas menentukan pilihanya. Distorsi pada pemilu yang berintegritas pada giliranya akan berkonsekuensi pada distorsi legitimasi dari proses electoral maupun kandidat terpilh.

Lantas bagaimana menyikapi fenomena vote buying dalam pemilu kita, tentunya perlu ada reformasi dalam UU Pemilu kita, salah satunya untuk jangka Panjang yaitu, kemabali ke system proporsianal tertutup pada tahun pemilu 2004. Dalam arti jangka Panjang harus dibenahi dulu integrated policy nya. Artinya partai politik itu harus terbuka dulu, karena saat ini partai politik itu sangat tertutup. Yang menentukan adalah ketua umum partai, sehingga nasib bangs aini seakan-akan hanya ada ditangan ketua umum partai. Hal ini bisa menjadi salah satu solusi dari fenomena vote buying yang berdampak langsung bagi masyarkat.

banner 300x250

Tinggalkan Balasan